Lebaran Murmer Pilihan Warga di Libur Idul Fitri
Foto-foto kiriman kru Radio Sinfoni. Crew berfoto bersama anggota keluarga setelah menjalankan shalat Idul Fitri di sekitar tempat tinggal masing-masing. Ada pula yang tengah bukber dengan teman seumuran.
SELALU ada yang baru saat Lebaran. Pakaian baru, masakan baru, sampai rumah baru.
Dan, Lebaran 2025 memang seperti perumpamaan itu, beda dengan Lebaran tahun lalu. Ada kondisi pemudik yang turun dan tren ke tempat wisata yang murmer atau murah meriah untuk mengisi Libur Lebaran 2025. Libur selama 11 hari, bisa menjadi liburan di pulau sendiri. Ya, tak mengapa, lagi pula objek wisata di NTB sangat populer di kalangan warga Nusantara dan mancanegara (wisman). Pantai-pantai di Sekotong (Lombok Barat), Pantai Kuta Mandalika (Lombok Tengah), Taman dan Makam Loang Baloq (Kota Mataram), wisata minat khusus Sembalun (Lombok Timur), Pulau Moyo (Sumbawa), Pantai Maluk (Sumbawa Barat), Pantai Lakey (Dompu), Pantai Lariti (Bima).
Sebagai daerah yang mengandalkan perekonomian dari sektor pertanian dan pariwisata, Nusa Tenggara Barat sudah pasti terpengaruh oleh kondisi penurunan daya beli dan jumlah pemudik yang turun tahun ini.
Daya beli masyarakat kondisinya tersambung dengan tingkat pengeluaran seseorang. Semisal dalam beberlanja kebutuhan pokok. Sedangkan menunda mudik adalah salah satu pilihan yang paling rasional dan mudah untuk diambil seorang kepala keluarga di tengah efisiensi anggaran pemerintah pada saat ini.
Tapi, bagi Lombok dan Sumbawa mudik adalah sarana memantik uang keluarga keluar untuk berbelanja kebutuhan. Pemudik dalam konteks ini adalah pemudik yang dari luar Bali, Jawa, dan Sumatera. Bisa juga dari Kalimantan. Pada umumnya, pemudik menyerbu tempat-tempat wisata yang ada di Lombok.
Untung, ada masyarakat lokal yang pintar memilih objek wisata murmer tapi populer. Sehingga keuntungan bagi pedagang kaki lima di sekitar objek wisata tetap laris.
Para pedagang kaki lima ini, yang meskipun terjadi krisis moneter masih mampu bertahan. Bahkan masih mencintai negara.
Pedagang kaki lima seperti menurut pakar ekonomi adalah pihak yang paling bertahan di tengah guncangan ekonomi nasional dan global. Walaupun, saya secara pribadi belum banyak mengetahui apa penyebabnya, namun profesi kaki lima hampir tidak pernah menyentuh permodalan dari lembaga finansial. Baik pemerintah maupun swasta.
Dikatakan hampir tidak pernah, karena dapat diperoleh dari arisan dan sebagainya atau rentenir. Bisa dimaklumi, semua juga tahu, bahwa persoalan terbesar yang dihadapi pedagang adalah mendapat akses permodalan dan pasar yang berkeadilan.
Di sini, pentingnya memperluas lagi objek-objek wisata yang mengedepankan konsep publik agar mampu membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar objek wisata berjualan. Masalah penataan sangat bisa dilakukan. Asal ada pembeli, keuntungan bisa disisihkan untuk memperindah tempat jualan dan memakai prinsip berkelanjutan.
Konsep fasilitas publik ini bisa saja bersebelahan dengan privat atau swasta atau property. Akan tetapi, bila menilik lebih jauh lagi, tipikal pariwisata Lombok (baca NTB) hanya turis kaya yang mampu menyeberang ke Lombok. Makanya banyak hotel dan villa yang justru berada di tempat tersembunyi. Di satu sisi, mengandalkan limpahan dari Bali (Wisman). Win-win solution diperlukan.
Berbeda dengan konsep publik yang lebih mengutamakan keterjangkauan. Apalagi, masyarakat NTB adalah masyarakat yang berkumpul. Habis bekumpul setelah shalat Id kemudian berfoto riang bersama anggota keluarga dan teman.
Habis berfoto bisa merencanakan berlibur ke tempat wisata. Bersama anggota keluarga atau sesama yang seumuran. Mengunjungi tempat wisata yang murmer dan berbelanja di tempat yang murmer.
Mungkin ini sekelumit usaha atau siasat masyarakat sekarang untuk bertahan di tengah efisiensi anggaran. Yang kata sebagian orang meninggalkan kata efektivitas. Tabik!
Penulis: AGUS SANTHOSA